Yayasan yang Pecah, dan Cara Menjaganya Tetap Utuh

Abdus Syukur. (dokpribadi)

BANYAK  yayasan lahir dari niat mulia. Ingin membantu sesama. Ingin berbuat baik. Tapi, anehnya, tidak sedikit yang justru pecah di tengah jalan. Bukan karena serangan dari luar, tapi karena benturan dari dalam.

Awalnya semua rukun. Satu visi. Satu semangat. Setiap rapat penuh tawa, setiap kegiatan terasa hangat. Lalu, perlahan, mulai muncul bisik-bisik: ada yang merasa lebih berjasa, ada yang merasa lebih tahu arah. Dan di situlah benih perpecahan mulai tumbuh.

Banyak yayasan bubar bukan karena kekurangan dana, tapi karena kelebihan ego. Ketika satu orang merasa paling menentukan, dan yang lain merasa tidak dianggap. Padahal, semangat yayasan seharusnya “menyatu untuk memberi”, bukan “berebut siapa yang lebih banyak memberi perintah.”

Masalah klasik lain: uang dan kepercayaan.

Transparansi yang longgar bisa jadi bara api. Sekali muncul rasa curiga, sulit memulihkan kepercayaan yang retak. Karena di yayasan, uang bukan sekadar angka — tapi simbol keikhlasan. Kalau keikhlasan tercoreng, semuanya terasa hampa.

Kadang pula, perbedaan generasi menjadi sumber gesekan. Pendiri ingin idealis, pengurus baru ingin profesional. Yang tua bilang, “Jangan hilangkan semangat pengabdian.” Yang muda menjawab, “Kalau tidak dikelola modern, kita tak akan bertahan.”

Dua-duanya benar. Tapi tanpa komunikasi, kebenaran bisa berubah jadi perpecahan. Dan yang paling sering terlupakan: tidak ada pemimpin yang mau jadi penengah.

Padahal dalam setiap konflik, selalu ada jalan damai — asal ada yang mau merendah lebih dulu. Tapi di yayasan, merendah sering dianggap kalah. Padahal, yang mau mengalah justru pemenang sejati.

Menjaga Yayasan Tetap Utuh

Tidak ada yayasan yang langsung besar. Semuanya lahir dari niat kecil yang tulus. Tapi mempertahankan niat itu jauh lebih sulit daripada memulainya.

Pertama, jaga komunikasi.

Banyak masalah selesai bukan dengan keputusan, tapi dengan pelukan.

Yayasan bukan lembaga birokratis, tapi keluarga yang disatukan oleh cita-cita.

Kedua, transparansi itu kunci.

Laporkan semua secara terbuka. Sekecil apa pun pemasukan dan pengeluaran, sampaikan. Karena kepercayaan adalah fondasi —sekali runtuh, seluruh bangunan ikut goyah.

Ketiga, pahami peran.

Pembina bukan pengurus, pengurus bukan pengawas. Kalau semua ingin jadi “nahkoda,” kapal pasti karam. Yayasan butuh sistem, bukan superman.

Keempat, hindari politik dalam rumah sendiri.

Jangan biarkan yayasan jadi arena pengaruh. Begitu semangat pengabdian berubah jadi perebutan posisi, nilai-nilai luhur langsung pudar.

Kelima, siapkan regenerasi.

Pendiri harus legawa. Pengurus muda harus hormat. Yang tua memberi ruang, yang muda menjaga nilai. Seperti sungai — airnya mengalir, tapi sumbernya tetap sama.

Dan terakhir, ingatlah niat awal.

Yayasan lahir bukan untuk mencari nama, tapi untuk menebar manfaat. Kalau arah sudah kabur, kembalilah ke niat pertama.

Karena di dunia ini, yang membuat lembaga bertahan bukan gedung megah atau dana besar, tapi ketulusan orang-orang di dalamnya. Yayasan yang kuat bukan berarti tanpa konflik. Tapi di dalamnya, selalu ada orang yang berani berkata:

“Sudahlah, kita kembali ke niat baik kita.”

Yayasan yang seperti itu tak akan mudah pecah. Sebab akar mereka bukan pada kekuasaan atau harta, melainkan pada niat yang tulus —dan itu yang membuatnya tetap hidup, bahkan ketika badai datang. (abdus syukur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *