Lembaga PLH-SDA MUI Dorong Gerakan “Selamatkan Pangan”

Peluncuran Policy Draft "Selamatkan Pangan" oleh Lembaga PLH-SDA MUI bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) RI di Jakarta, Kamis (28/8/2025).(Foto: Humas MUI)

JAKARTA (NTBNOW.CO)– Di tengah darurat pangan global, penyelamatan makanan menjadi solusi penting, sebab langkah ini tidak hanya dapat memberi makan bagi jutaan orang yang masih kelaparan, tetapi juga membantu mengurangi emisi penyebab krisis iklim. Gagasan ini kini semakin mengemuka dalam kebijakan berbagai negara, termasuk Indonesia.

Seruan penyelamatan pangan tersebut ditegaskan melalui “Policy Draft Selamatkan Pangan” yang diluncurkan Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA MUI) di Jakarta, Kamis (28/8).

Peluncuran Policy Draft tersebut dilakukan atas kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang tengah menginisiasi Waste Crisis Center sebagai tanggapan terhadap merebaknya darurat sampah.

Ketua LPLH-SDA MUI, Dr. Hayu Prabowo menekankan bahwa persoalan pangan juga menyangkut dimensi moral dan spiritual, sehingga langkah itu harus dilihat sebagai kewajiban agama dan sosial, sekaligus sebagai upaya menjaga keberlanjutan hidup di bumi..

“Setiap butir nasi yang terbuang adalah bentuk tabdzir dan israf yang dilarang agama. Menyelamatkan pangan berarti menjalankan kewajiban moral, sosial, dan ibadah, sekaligus menjaga keberkahan Allah atas bumi ini,” kata Hayu.

Disebutkan, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan pemborosan makanan terbesar di dunia. Data Bappenas 2021 menunjukkan food loss and waste (FLW) mencapai 23 – 48 juta ton per tahun atau setara 115–184 kg per kapita. Laporan The Economist bahkan menempatkan Indonesia di posisi kedua global, dengan rata-rata 300 kg makanan terbuang tiap orang per tahun.

Hayu menjelaskan, jumlah makanan yang hilang tersebut sebenarnya cukup untuk memberi makan hingga 125 juta orang per tahun. Di sisi lain, sampah makanan juga menyumbang 7,29 persen emisi gas rumah kaca nasional, sehingga menjadi faktor penting yang memperburuk perubahan iklim sekaligus meningkatkan beban pengelolaan sampah.

Sementara itu Staf Ahli Bidang Kelestarian Sumber Daya Keanekaragaman Hayati dan Sosial Budaya KLH, Noer Adi Wardojo menegaskan komitmen pemerintah untuk memperkuat regulasi pengelolaan sampah organik.

Langkah dimaksud diarahkan agar sampah dapat diolah menjadi pupuk organik dan pembenah tanah serta mendukung swasembada pangan berkelanjutan, sekaligus mencegah pembuangan makanan layak konsumsi.

Keberhasilan strategi itu hanya mungkin terwujud melalui kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, dunia usaha, komunitas agama, media, organisasi masyarakat sipil, hingga rumah tangga perlu bersinergi. Seluruh pihak dapat menekan pemborosan pangan, mengurangi timbunan sampah, dan membangun budaya konsumsi yang lebih bijak dan bertanggung jawab.

Paradigma Baru Gerakan Selamatkan Pangan

“Policy Draft Selamatkan Pangan” menawarkan paradigma baru, yakni melihat makanan berlebih bukan lagi sebagai limbah, tetapi sumber daya berharga karena dapat dimanfaatkan untuk menolong sesama, mengurangi tekanan lingkungan, dan meningkatkan ketahanan pangan. Paradigma ini menekankan aspek kemanusiaan, keberlanjutan, sekaligus ketaatan nilai agama.

Rangkaian langkah konkret yang diusulkan mencakup penerapan regulasi tegas, pemberian insentif ekonomi, penguatan jejaring, dan kampanye nasional bertajuk “Selamatkan Pangan- Selamatkan Masa Depan”, Dengan pendekatan ini Indonesia berupaya mengubah pola pikir masyarakat agar lebih menghargai pangan sebagai berkah bagi kehidupan.

Selain itu, dokumen tersebut juga menegaskan ketentuan Fatwa MUI No.41/2014 yang menyatakan bahwa membuang barang bermanfaat, termasuk makanan hukumnya haram. Dengan demikian, penyelamatan pangan tidak hanya berbicara tentang efisiensi atau keberlanjutan, tetapi juga merupakan kewajiban syar’i bagi setiap Muslim.

“Mengelola pangan bukan sekadar urusan teknis. Ini adalah bagian dari moralitas untuk mewujudkan keadilan sosial, menjaga kelestarian lingkungan, dan menjalankan perintah agama. Pandangan ini meneguhkan bahwa isu pangan perlu diletakkan dalam kerangka multidimensi: sosial, ekologis, ekonomi, dan spiritual,” kata Hayu.

Indonesia kini berada pada persimpangan penting: menjadi negara penghasil limbah makanan terbesar sekaligus menghadapi kerawanan pangan tinggi, dan Gerakan Selamatkan Pangan (GERSEP) diharapkan mampu membalik kondisi ini, dengan menjadikan surplus makanan bukan sebagai beban lingkungan, tetapi sebagai modal sosial untuk ketahanan pangan nasional.

“Dengan menyelamatkan pangan, kita bukan hanya menyelamatkan bumi, tetapi juga menolong sesama dan menunaikan nilai keimanan. Pesan ini menegaskan bahwa penyelamatan pangan adalah langkah integral menuju bangsa yang lebih adil, berkelanjutan, dan diridhoi Tuhan,” ujar Hayu. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *