News  

Mesin Cuci, Api, dan Ruko Sweta

Petugas Damkar berjibaku memadamkan api. (ist)

Mataram, Sabtu pagi, jam enam lewat dua puluh. Hari baru saja beranjak dari subuhnya. Tapi api, rupanya, tak menunggu lama untuk ikut menyapa kehidupan manusia.

Di sebuah ruko dua lantai di Gerung Butun Timur, Sweta, ada cerita tentang mesin cuci. Alat yang mestinya membantu membersihkan pakaian, justru meletus dan mengundang api. Dari situlah bara lahir, menjilat pelapon, merambat ke dinding, dan membuat manusia tersadar betapa rapuhnya bangunan—dan betapa mudahnya harta menjadi abu.

Ruko itu sederhana: lantai satu toko mebel aluminium, lantai dua rumah tinggal sekaligus kantor media. Rumah yang menghidupi, juga rumah yang melayani orang banyak dengan berita.

Yuni, seorang karyawan yang pagi itu sedang mencuci, jadi saksi pertama. Ia bercerita: mesin cuci tiba-tiba meletus, api muncul, dan pakaian yang sedang berputar jadi korban pertama. Panik, ia memanggil Anang, sang pemilik ruko, yang tengah beristirahat.

Anang—yang juga wartawan, yang setiap hari menulis tentang kejadian orang lain—kini harus berhadapan dengan beritanya sendiri. Ia bukan lagi pencatat peristiwa, tetapi pelaku dalam sebuah peristiwa. Dengan refleks, ia amankan tabung gas, ia buka pintu ruko agar warga bisa membantu.

Sementara itu, Kapolsek Sandubaya bergerak cepat. Tiga mobil pemadam datang, sirenenya bersuara lebih keras dari detak jantung orang-orang di sekitar. Api dilawan, bukan hanya oleh air, tapi juga oleh kepedulian warga, aparat, dan petugas damkar. Tak lama, api padam. Tidak ada korban jiwa.

Anang lalu menyampaikan terima kasih. Kepada warga, kepala lingkungan, lurah, kapolsek, hingga dinas pemadam. Tapi sebenarnya, ucapan itu bukan hanya milik Anang. Itu adalah kalimat syukur yang bisa kita ulang-ulang: bahwa di balik kepanikan, masih ada gotong royong. Bahwa di tengah kobaran api, masih ada manusia yang rela memadamkan, bukan meniupkan.

Dan kita pun belajar. Dari mesin cuci yang meletus, dari api yang membakar, dari asap yang menghitamkan. Belajar bahwa musibah bisa datang dari benda yang sehari-hari kita anggap sahabat. Belajar bahwa rasa peduli orang lain sering kali lebih cepat dari sirene pemerintah.

Kerugian materi masih didata. Tapi yang jelas, ada keuntungan batin: kita diingatkan lagi bahwa hidup ini sesungguhnya bukan tentang menghindari api, melainkan bagaimana kita saling memadamkannya. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *