Oleh: Abdus Syukur
Kopi saya belum habis. Masih hangat. Masih bisa diaduk sekali dua. Tapi pagi itu—yang mestinya tenang—dipecah oleh satu pesan WhatsApp. Dari seorang teman lama. Sebut saja inisialnya DW.
Dulu kami sama-sama wartawan. Ia lebih keras kepala dalam urusan idealisme. Sekarang, mungkin ia sudah tidak lagi menulis berita. Tapi dari pesan-pesan paginya, saya tahu: cintanya belum pergi dari profesi ini. Bahkan mungkin, makin dalam karena melihat kenyataan hari ini.
“Wartawan dulu adalah profesi yang membanggakan,” tulisnya.
“Tidak mudah menjadi wartawan saat itu. Harus ikut pelatihan jurnalistik. Harus punya mentor. Harus siap dengan materi liputan sejak sehari sebelumnya.”
Saya terdiam. Mengangguk dalam hati.
Kami dulu turun lapangan bukan dengan HP mahal. Tapi dengan MARRAN (alat rekam berita buatan German) blocknote, dan bolpoin.
Sekarang? Cukup punya printer. Cetak ID Card lima ribuan. Bawa HP. Ikut kerumunan.
Lalu mengaku wartawan.
Lalu menyodorkan tangan—bukan untuk wawancara, tapi untuk ‘yang lain’.
DW menyebutnya: PR Gelap.
Saya sedikit tersedak. Katanya lagi, banyak narasumber—terutama pejabat—tampak ramah saat jumpa wartawan. Tapi di belakang, mereka berbisik, “Biasaaaa… wartawan.”
Dari nada itu, terdengar sinisme. Karena profesi ini sudah terlalu sering diobral.
Terlalu banyak yang menjualnya murah. Bahkan tanpa sedikit pun rasa bersalah.
“Menulis pun hanya copypaste,” tulis DW. Kalimatnya tajam. Tapi saya tak menyangkal.
Saya tahu itu benar. Bahkan lebih buruk dari yang ia tulis.
Saya membalas dengan satu kalimat:
“Terima kasih, ini bukti bahwa Antum masih sayang dengan profesi ini.”
Dia balas lagi, lebih panjang: “Apa peran DKD? Organisasi profesi? Dewan Pers? Apakah yang seperti itu masih layak disebut wartawan?”
“Iya, mereka lapar, dan itu manusiawi. Tapi sampai kapan alasan itu jadi pembenar atas perilaku yang mencederai marwah wartawan?”
Diam-diam saya merasa tertampar. Tapi juga tercerahkan. Karena kritik seperti itu hanya datang dari orang yang benar-benar peduli.
Di akhir percakapan, DW menulis satu kata yang mewakili segalanya:
“Miris.”
Saya diam lama. Kopi sudah dingin. Tapi hati saya hangat. Karena ternyata, masih ada orang seperti DW—yang tak sudi melihat profesi ini terus-menerus dipermalukan.
Dan mungkin, itu cukup untuk membuat kita bangkit. Minimal, untuk kembali bertanya pada diri sendiri: Masih pantaskah kita disebut wartawan?
“Wartawan Indonesia harus bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” (Kode Etik Jurnalistik, Pasal 1)
Kita boleh “lapar”. Kita manusia. Tapi profesi wartawan bukan untuk dijadikan tambang pribadi.
Ia adalah jalan sunyi untuk menyuarakan kebenaran. Jika masih ada yang peduli, maka profesi ini belum mati. Masih ada harapan—selama kita mau melihat ke dalam, dan mulai dari diri sendiri. (*)
*Ketua DKD PWI NTB