Kiat Menulis: Bertutur tentang Sosok di Media Massa

Oleh: Mohammad Nasir

PERNAHKAH Anda membaca cerita perjalanan hidup seseorang? Cerita perjalanan hidup secara utuh mulai lahir hingga fase tertentu atau sampai meninggal yang ditulis oleh orang lain disebut biografi. Kalau itu ditulis sendiri namanya autobiografi. Lalu apa bedanya dengan tulisan sosok atau profil seseorang di media massa?

Cakupan cerita pada bentangan fase kehidupan dalam biografi ditulis lebih lengkap sehingga tidak mungkin dituangkan dalam surat kabar atau majalah. Biasanya ditulis dalam bentuk buku.

Begitu pula tulisan memoir (memoar) yang berisi beberapa fase kehidupan menonjol—ditulis lebih ringkas dari biografi—biasanya juga disajikan dalam bentuk buku.
Sementara sosok yang berisi cerita kehidupan, kiprah nyata, perjuangan, dan pemikirannya disajikan di media massa dengan ukuran sekira setengah halaman atau cukup seperempat halaman koran lebar, bahkan lebih pendek lagi.

Di era media siber, panjang pendek tulisan tidak begitu penting, akan tetapi penulis harus tetap mempertimbangkan ketersediaan waktu pembaca, supaya tingkat keterbacaannya tinggi. Pembaca biasanya sebelum membaca, terlebih dahulu melihat panjang tulisan atau waktu yang dibutuhkan untuk membaca.

Ketika dirasakan akan memakan waktu lama, pembaca akan menunda membacanya, menunggu ada waktu santai di lain kesempatan. Sementara untuk menjawab rasa ingin tahu, pembaca biasanya langsung menuju ke infografis (kalau tersedia). Infografis biasanya memuat informasi biodata singkat, seperti nama, tempat dan tanggal lahir, pendidikan, dan pekerjaan.

Memilih Tema
Manusia itu menyerap segala pengetahuan, mendalami apa yang dimaui. Keluasan dan kedalaman pengetahuan, serta pengalamannya tidak terukur. Manusia itu multidimensi. Jika ditulis secara utuh dalam satu tulisan sosok, pasti tidak cukup.

Ada beberapa buku yang memuat banyak tulisan sosok, dari tema yang berbeda-beda, masing-masing bisa berdiri sendiri, tetapi semua saling terkait dan hanya membicarakan satu orang subjek. Misalnya, buku Jejak Langkah Jakob Oetama Warisan Sang Pemula, Penerbit Buku Kompas, 2020, memuat banyak tulisan yang semuanya memuat sosok Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia.

Di dalamnya ada tulisan “Nama yang Profetik” karya Ignatius Kardinal Suharyo,  “Jalan Kemanusiaan Jakob Oetama” oleh Trias Kuncahyono, “Jakob Oetama Humanis Agung” oleh Ahmad Syafi’I Maarif, “Sang Begawan” oleh M. Jusuf Kalla, “Saya Adalah Wartawan” oleh Sindhunata, “Tak Ingin Dipersalahkan Sejarah” oleh Rikard Bagun, dan “Kemanusiaan Menjulang ke Langit” yang saya tulis, dan tulisan-tulisan wartawan senior lainnya, seperti Sutta Dharmasaputra, dan Ilham Khoiri.

Di sini saya hanya ingin menyampaikan pesan bahwa tulisan sosok satu orang subjek bisa dikerjakan bersama-sama. Masing-masing wartawan mendapat tema dan angle yang berbeda-beda. Kumpulan tulisan itu bisa dijadikan dalam satu buku.

Tetapi kalau kita menulis hanya satu tema untuk suatu penerbitan media, harus memilih satu tema yang paling menarik, tema yang paling dikuasai subjek, dan aktual. Pemilihan satu tema diperlukan untuk menjaga cerita tidak meluas kemana-mana.

Jika subjek ketika diwawancara berbicara di luar tema yang ditentukan, kita kembalikan ke tema yang kita rencanakan. Bisa saja ketika diwawancarai soal pendidikan, subjek cerita soal ekonomi yang tidak berkait pendidikan. Silakan saja subjek berbicara di luar tema, tetapi itu tidak menjadi bagian materi yang akan ditulis.

Memanggungkan Orang

Ada pengetahuan dasar yang harus diketahui oleh wartawan penulis sosok. Sosok yang dimaksud di sini adalah orang. Berarti tulisan ini memanggungkan orang. Orang yang punya kiprah dan kepedulian yang luar biasa kepada kehidupan orang banyak, kepada manusia dan kemanusiaan, kepada bidang pendidikan atau bidang lainnya.

Tujuan menulis sosok bukan untuk memamerkan perbuatan baik, tetapi menyebarluaskan supaya diteladani oleh banyak orang. Apa yang ditampilkan?

Seperti yang dipahami secara umum, manusia terdiri atas dua bagian: jasmani dan rohani, mind and body, pikiran/ucapan dan perbuatan, materialistik dan idealistik. Kedua-duanya saling mempengaruhi atau dapat dikatakan “yang terlihat bagian dari yang tidak terlihat”.

Dalam mewawancarai subjek, kita mengamati kebendaan (materialistik) dan terus menggali isi pikiran subjek (idealistik). Materialistik,  segala sesuatu yang bersifat materi, seperti tempat, ruangan, gedung sekolah, kampus, perbuatan atau tindakan dan lain-lain.

Mendiskripsikan Benda

Semua yang bersifat materi bisa dilihat dan didiskripsikan, seperti kemegahan kampus, kerapuhan bangunan sekolah dasar, dan lain sebagainya.

Juga materi yang berkaitan dengan keberhasilan subjek, apa yang telah dilakukan subjek, dan apa saja yang sedang dijalankan. Tubuh juga termasuk materi yang bisa didiskripsikan dalam penulisan sosok misalnya menggambarkan wajahnya,  warna rambut, warna mata, dan warna kulit, serta warna baju yang dipakainya, dan benda-benda perhiasan yang melekat tubuhnya.

Apa itu diskripsi? Diskripsi itu menggambarkan situasi, tempat, benda-benda sekitar, suara, rasa, warna secara rinci sehingga pembaca seakan-akan menyaksikan sendiri.

Apa bedanya dengan narasi? Narasi itu menggambarkan kegiatan, urutan kejadian yang dramatis, pengalaman dengan detil dan jelas dalam tulisan. Narasi dan diskripsi sama.
Akan tetapi diskripsi kebendaan itu diperlukan hanya untuk mendukung atau mengantarkan cerita yang relevan dengan tema yang kita pilih. Sepanjang itu relevan dengan tema tulisan, silakan, tetapi jangan terlalu panjang, karena bisa membosankan pembaca.

Misalnya kalau kita memilih tema bidang pendidikan, penulis akan lebih tepat mendiskripsikan judul tumpukan buku-buku di meja depan subjek atau di lemarinya. Menceritakan kemegahan kampus tempat subjek kuliah, menggambarkan keseriusannya dalam menimba ilmu pengetahuan.

Menggambarkan fisik tubuh dalam tulisan juga tidak ada masalah, tetapi yang positif tentunya, seperti menceritakan wajah subjek perempuan yang lebih tampak segar alami. Boleh juga mendiskripsikan sesuatu yang membanggakan diri subjek, misalnya, “bulu matanya lentik” dan seterusnya.

Atau menggambarkan semangat yang heroik. Misalanya, “Ketika ditanya dirinya dalam keterlibatan perjuangan TNI di Timor Timur, pria pensiunan perwira TNI yang bertubuh atletis, tampak seperti garang kembali. Suaranya lantang dan tubuhnya gemetar ketika bercerita, seakan-akan dia kembali masuk hutan mengejar musuh negara di sana”.

Idealistik      

Idealistik berkaitan dengan pemikiran subjek, pengetahuan, gagasan, pandangannya yang sedang diperjuangkan, nilai-nilai yang dianut dan dikembangkan, cita-citanya atau harapannya, dan lain-lain.

Dalam dunia pendidikan, ide dan pengetahuan lebih menonjol daripada dunia materi. Akan tetapi ide-materi saling terkoneksi, saling melengkapi.

Untuk menggali idealistik dari subjek, pewawancara harus tahu di mana dulu subjek belajar, bidang apa yang ditekuni, dan penerapannya sudah sampai mana. Adakah suatu cita-cita besar menggantung di sana? Sampai di mana harapannya sudah terpenuhi, dan apa hasil yang sudah bisa diperlihatkan (terhubung ke materialistik).

Adakah pertarungan ide yang sedang dilakukan dengan ide-ide orang lain di luar sana? Nilai-nilai model apa yang sekarang sedang diperjuangkan dengan gigih sekarang?

Bagaimana Menyusun Cerita

Tulis saja apa yang didapat dari hasil wawancara dan catatan latar belakang yang sudah diuji kebenaranya, serta kesaksian orang lain kalau ada. Apa yang mau Anda tuturkan terlebih dulu, silakan. Lead yang memancing minat membaca sampai tuntas, silakan tulis.

Ceritakan di antara 5 W + 1 H (what, who, where, when, why, dan how) yang paling menarik. Tidak harus bercerita berdasarkan kronologi, bercerita secara tematik juga menarik. Terserah.

Menulis cerita kehidupan tidak perlu berdasarkan kronologi waktu, mulai lahir hingga saat ini. Tetapi pilihlah satu fase yang paling dirasakan luar biasa (extraordinary), baik itu menyangkut tempat, waktu, atau kejadian yang sangat menonjol dalam sejarah hidup.

Kenapa dipilih fase yang ada nilai extraordinary? Supaya pembaca tertarik dan membacanya sampai tuntas.

Jangan memberi jawaban keingintahuan  pembaca di baris pertama atau kedua, bawa terus pembaca sampai membaca seluruhnya.

Informasi penting ditebar di praragrap demi paragrap. Kalau ada humor yang sesuai untuk dimasukkan dalam cerita, silakan tulis.

Bikin pembaca penasaran. Menyusun cerita mengalir dari alinea ke alinea perlu latihan. Di antara alinea di atas dan yang di bawah ada jembatan berupa kata atau frase yang menghubungkan, sehingga pikiran tidak terputus.

Jangan menggunakan kata opini. Lebih baik sampaikan fakta-faktanya. Kalaupun menggunakan opini, segera jelaskan fakta-faktanya. “Misalnya, kepala sekolah SMA itu rajin memanggil murid yang telat masuk kelas”.  Kata “rajin” di sini opini. Maka harus disusul fakta. Misalnya, kalimat tersebut segera disusul dengan kalimat, “Kemarin 10 anak dipanggil ke ruangannya, sekarang enam anak. Dalam sepekan kadang-kadang sampai 50 anak”.

Untuk menguasai teknik penulisan yang memenuhi harapan seperti itu, kuncinya hanya berlatih, menulis terus-menerus, seperti belajar naik sepeda. Tidak ada teori yang lebih baik, kecuali langsung menaikinya dengan segala kekurangan, dan kadang-kadang jatuh bangun. Namun dalam jumlah jam tertentu, orang sudah bisa naik sepeda dengan baik.

Jujur Bertutur

Banyak subjek tidak sanggup diceritakan warna kehidupannya seperti apa adanya. Banyak yang “menyensor” cerita kehidupan sendiri. Kejujuran adalah tantangan terbesar bagi orang yang ditulis kehidupannya. Menulis kehidupan (live writing) berbeda dengan menulis novel yang mengutamakan creation fiction

Menulis kehidupan bukan bertujuan untuk memamerkan kesuksesan, tetapi untuk menjadi teladan atau pelajaran bagi banyak orang yang sedang menapaki kehidupan yang penuh rintangan. Bagi subjek sendiri, tulisan sosok merupakan refleksi perjalanan hidupnya. Subjek akan menyadari seharusnya jalan kehidupan yang benar itu seperti apa.

Tentu saja untuk media massa, cerita sosok ini bisa meningkatkan jumlah pembacanya. Pembaca merasa memperoleh manfaat setelah membaca sosok seseorang yang bisa dijadikan teladan bagi pembaca dan keluarganya.

*Penulis ialah wartawan Harian Kompas (1989- 2018), memperdalam skill menulis kehidupan di kelas Advanced Writing Live Department for Continuing Education, University of Oxford. Kini Mentor Fellowship Jurnalisme Pendidikan pada Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan, serta penulis kolom pembelajaran yin-yang terapan. Materi ini disampaikan dalam pelatihan Program FJP Angkatan IV 2022 GWPP, Jumat, 25 Februari 2022.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *