Reformasi Birokrasi atau Pemangkasan Jabatan?

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat kembali menggulirkan kebijakan perampingan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang menurut rencana akan memangkas 227 jabatan struktural. Rencana ini diklaim sebagai bagian dari efisiensi birokrasi, namun di sisi lain menimbulkan pertanyaan: benarkah ini untuk reformasi atau sekadar pemangkasan?

Sikap para pejabat yang menyatakan diri “sami’na wa atho’na” patut diapresiasi sebagai bentuk loyalitas kepada pimpinan. Namun redaksi menilai, pemberitaan yang hanya menampilkan sisi legawa dari segelintir pejabat eselon II belum cukup untuk menggambarkan dinamika sesungguhnya. Di balik pernyataan resmi dan nada optimisme, ada ratusan pejabat eselon III dan IV yang terancam kehilangan posisi tanpa kejelasan nasib. Mereka adalah bagian penting dalam roda pelayanan publik yang justru paling rentan terdampak.

Pemerintah menyebut bahwa masih ada jabatan kosong yang dapat diisi oleh mereka yang terdampak. Namun hingga kini, belum ada penjelasan rinci mengenai mekanisme seleksi terbuka yang menjamin prinsip meritokrasi, transparansi, dan akuntabilitas. Jika reformasi birokrasi adalah tujuan utama, maka prosesnya pun harus bersandar pada nilai-nilai reformis, bukan sekadar reposisi kekuasaan.

Redaksi juga melihat adanya kekosongan narasi kritis dalam pemberitaan mengenai dasar pertimbangan perampingan ini. Apakah ada kajian akademik, evaluasi kinerja, atau telaah anggaran yang menjadi landasan? Atau ini semata kebijakan instan yang akan menimbulkan resistensi birokrasi di bawah permukaan?

Jika reformasi birokrasi hanya dimaknai sebagai penyederhanaan struktur, tanpa memperhatikan beban kerja, distribusi kewenangan, dan jaminan hak pegawai, maka langkah ini hanya akan menjadi kosmetik belaka. Publik berhak tahu, dan media berkewajiban untuk tidak sekadar mengutip, melainkan juga menggugat, mengkritik, dan memberi ruang bagi suara-suara yang selama ini tenggelam oleh euforia loyalitas.

Reformasi sejati tak lahir dari diam dan patuh, melainkan dari evaluasi terbuka dan partisipasi seluruh elemen birokrasi dan masyarakat. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *