JAKARTA (NTBNOW.CO)– Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) Dr. TM Luthfi Yazid menyatakan prihatin atas penangkapan dan pentersangkaan seorang mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB yang dituduh melanggar UU ITE akibat unggahan meme satire bergambar Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo.
Dalam perbincangan dengan wartawan di Jakarta, Minggu (11/5/2025), Ketum DePA-RI menilai, pendekatan pidana dengan menangkap dan mentersangkakan mahasiswi berinisial SSS itu adalah langkah berlebihan dan tidak proporsional.
Meme yang dipersoalkan, menurut Luthfi merupakan bentuk ekspresi seni yang bernuansa kritik sosial dan satire politik, dan bukan pornografi atau informasi palsu.
Dengan demikian, unsur pelanggaran atas pasal-pasal UU ITE yang dikenakan, yaitu Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) serta Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1) tidak terpenuhi secara objektif.
“Di sini tidak ada Perbuatan Melawan Hukum. Jika dipaksakan, maka hal itu adalah bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi yang dapat menimbulkan ketakutan publik,” kata Ketum DePA-RI.
Selain itu, lanjutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.105/PUU-XXII/2024 mengecualikan lembaga pemerintah, korporasi, profesi dan jabatan dari pihak yang dapat mengadukan pencemaran nama baik, dan karenanya tidak terkualifisir sebagai delik pidana.
Dengan demikian memberikan kritik kepada seorang Presiden, misalnya, tidak bisa selalu ditafsirkan sebagai sebuah kebencian yang sifatnya personal. Justru boleh jadi karena kecintaannya kepada Presiden sebagai sebuah institusi yang sedang menahkodai sebuah kapal besar bernama “Indonesia Raya” agar tidak tenggelam.
Atau si pengkritik tersebut memiliki uneg-uneg, namun tidak dapat mengungkapkan pesannya kecuali melalui kesenian, umpamanya. Dan menurut Ketum DePA-RI, perlu diingat ungkapan yang mengatakan: “if you are opened for criticism you are on the right track for improvement” (jika anda terbuka dengan masukan dan kritik, maka anda sudah berada di jalur yang benar untuk sebuah kemajuan).
Luthfi lebih lanjut mengemukakan, DePA-RI mengapresiasi pihak kampus ITB yang telah menyatakan komitmen untuk mendampingi secara akademik dan psikologis.
“Sejarah mencatat, dari ITB telah banyak lahir tokoh-tokoh bangsa yang semasa mahasiswa memelihara sikap kritisnya, dan kelak memiliki kontribusi penting bagi republik ini,” katanya sambil menambahkan bahwa orangtua SSS telah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka, dan tindakan ini menunjukkan adanya itikad baik dari pihak keluarga.
Oleh sebab itu DePA-RI menyerukan agar proses hukum SSS dihentikan, dan ia dibebaskan. Kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi harus diakhiri dan nama baik SSS harus dipulihkan agar dia tetap semangat untuk belajar serta mempersiapkan masa depan yang gemilang.
Ketum DePA-RI lebih lanjut mengemukakan, ITB adalah rumah bagi generasi masa depan bangsa. Mereka kelak akan memimpin dan membentuk wajah Indonesia dalam situasi dunia yang tengah diliputi berbagai keprihatinan dan ketidakpastian.
Kampus seperti ITB seharusnya menjadi ruang aman untuk tumbuhnya nalar kritis, keberanian moral, dan ekspresi kreatif yang membangun. Membungkam suara mereka bukan hanya melemahkan demokrasi, tetapi juga merusak masa depan bangsa itu sendiri.
DePA-RI, sekali lagi, mendesak aparat penegak hukum untuk menghentikan proses pidana dan membebaskan SSS sejalan dengan Putusan MK yang sifatnya final and binding tersebut.
“Penafsiran hukum hendaknya tidak dilakukan secara tunggal dan represif, melainkan dengan semangat menjunjung tinggi perlindungan hak asasi, ruang akademik, dan kebebasan berekspresi yang merupakan hak konstitusional warga negara,” tegasnya. (red)
Keterangan Foto:
Ketua Umum DePA-RI Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LL.M (Foto: Dok. Humas DePA-RI)