NTB 2025–2029: Mewujudkan Janji, Menjawab Tantangan

Lalu Muhammad Iqbal bukanlah sosok baru di panggung nasional. Namun, saat ia resmi menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) berpasangan dengan Wagub Hj Indah Damayanti, publik tahu: gaya komunikasinya yang diplomatis akan diuji oleh medan yang jauh lebih liar—kemiskinan yang membandel, sektor pangan yang rapuh, dan mimpi menjadikan NTB sebagai destinasi dunia yang tak kunjung utuh.

Lewat dokumen RPJMD 2025–2029, Iqbal menjanjikan perubahan berbasis tiga program utama. Ketiganya terlihat indah di atas kertas, apakah NTB benar-benar siap melompat sejauh itu?

Mengentas Kemiskinan Yang Tak Pernah Pergi

Bicara soal kemiskinan di NTB ibarat membuka luka lama yang belum sembuh. Menurut data BPS terakhir, NTB sudah keluar dari lingkaran 10 besar provinsi termiskin di Indonesia. Tapi Gubernur Iqbal ingin mengubah pendekatan: bukan lagi menumpuk bantuan, tapi membongkar akar masalahnya.

Dalam sejumlah pertemuan, ia menekankan pentingnya data yang presisi dan program berbasis pemberdayaan. Tapi kerapkali program pengentasan kemiskinan tenggelam dalam birokrasi dan proyek pendek usia. Tantangannya bukan pada gagasan, tapi bagaimana mengubah kultur kerja aparatur sipil dan membuka ruang partisipasi warga.

Kalau tak hati-hati, jargon “peningkatan kapasitas” bisa kembali menjelma jadi pelatihan sepi peserta, modul copy-paste, dan laporan indah tanpa dampak nyata.

Membangun Ketahanan Pangan dengan Logika Industri

Ketahanan pangan adalah kata manis yang sering diucap politisi, tapi hanya sedikit yang paham rumitnya rantai nilai dari ladang hingga pasar. Gubernur Iqbal ingin membangun ekosistem industri pertanian yang serius: bukan hanya panen, tapi juga pengolahan, pengemasan, dan pemasaran.

Ia menyebut kata “ekosistem” berulang kali—sebuah isyarat bahwa pertanian tak bisa berdiri sendiri. Perlu irigasi yang hidup, koperasi yang benar-benar aktif, hingga petani yang cakap teknologi. Tapi apakah semua itu tersedia?

Banyak petani di NTB masih bertani secara konvensional, hidup dari musim ke musim, dengan akses pupuk dan pasar yang tak menentu. Transformasi ini membutuhkan shock terapi—baik dalam hal regulasi, insentif, maupun mentalitas. Dan itu tidak cukup hanya dengan kunjungan lapangan dan video promosi yang viral di TikTok.

Menjual NTB ke Dunia, Tapi Milik Siapa?

Pariwisata jadi andalan NTB sejak lama. Mandalika sempat menggemparkan dunia dengan MotoGP. Tapi satu pertanyaan penting tetap menggantung: pariwisata ini milik siapa? Siapa yang diuntungkan?

Iqbal tampaknya sadar bahwa “pariwisata kelas dunia” bukan sekadar bangun hotel megah atau gelar festival akbar. Ia ingin NTB dikenal karena karakter lokalnya, bukan sekadar menjadi Bali kedua. Namun jalan ke sana masih penuh jebakan: dari konflik lahan, ketimpangan kawasan, hingga SDM pariwisata yang belum merata.
Kalau tak ada keberpihakan tegas, NTB bisa terjebak pada “pariwisata eksklusif” yang hanya dinikmati investor, bukan warga lokal.
Jalan Sunyi Menuju Transformasi
Tiga program besar ini ibarat tiga kuda liar: kuat, cepat, tapi sulit dikendalikan. Untuk menjinakkannya, Gubernur Iqbal butuh lebih dari sekadar pidato dan program. Ia butuh tim kerja yang visioner, anggaran yang disiplin, serta keberanian mengambil risiko di tengah birokrasi yang lambat.

Yang lebih penting: ia butuh kritik yang jujur dan keterbukaan terhadap evaluasi. Karena membangun provinsi tak bisa hanya dengan angka-angka, tapi harus dimulai dari keberanian mendengar suara rakyat yang mungkin tak terdengar di ruang-ruang rapat.

NTB punya mimpi besar. Tapi seperti yang pernah dikatakan seorang tokoh, “Mimpi besar hanya mungkin tercapai jika kita berani membayar harga dari kerja keras yang tak populer.” (redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *