Pers  

Jurnalis tvOne dan RTV Dilarang Meliput Kasus Rudapaksa di Mataram, Ini Tanggapan Ketua SMSI NTB

MATARAM (NTBNOW.CO)– Tiga wartawan TVOne dan RTV, Herman Zuhdi, Rahmatul Kautsar, dan Sofiana Mufidah menghadapi pelarangan meliput kasus yang melibatkan tersangka rudapaksa di rumah Agus, Mataram, Selasa (03/12). Tindakan ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Saat hendak mengambil gambar keberadaan para penyidik, seorang anggota penyidik menanyakan asal media mereka. Setelah menyebutkan identitas masing-masing, tiga polisi dan satu anggota TNI melarang pengambilan gambar. Bahkan, seorang penyidik perempuan meminta Herman Zuhdi dan Rahmatul Kautsar menghapus rekaman yang telah diambil.

Ketika diminta penjelasan, aparat hanya mengatakan akan memberikan keterangan melalui Kanit. Namun, hingga kegiatan selesai, tidak ada klarifikasi yang diberikan.

“Apa alasannya kami dilarang mengambil gambar? Kami dilindungi undang-undang dalam melaksanakan tugas,” ujar Herman Zuhdi, Jurnalis tvOne yang juga Sekretaris Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda NTB.

Ia menegaskan hak-hak pers telah diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kebebasan jurnalis dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.

“Kami menyerukan kepada pihak berwenang untuk menegakkan hukum dan memastikan hak-hak pers dihormati. Serta memberikan penjelasan yang transparan atas insiden ini,” tambah Herman.

Menanggapi kasus pelarangan itu, Ketua SMSI NTB, HM Syukur, SH menegaskan larangan terhadap wartawan untuk meliput suatu peristiwa merupakan tindakan yang tidak sejalan dengan semangat kebebasan pers sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pers memiliki hak untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan informasi demi kepentingan publik. Jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, langkah yang tepat adalah menempuh mekanisme sesuai UU Pers, bukan dengan melarang atau menghalangi tugas wartawan.

“SMSI mendesak semua pihak menghormati tugas dan fungsi pers sebagai pilar demokrasi,” kata Syukur.

Ia juga mengimbau kepada seluruh pihak, baik aparat kepolisian, institusi pemerintah maupun swasta, untuk tidak menghalangi atau melarang wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

Kebebasan pers dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati.

“Jika ada kekhawatiran terkait pemberitaan, kami sarankan menggunakan mekanisme hak jawab atau melapor ke Dewan Pers. Bukan dengan tindakan yang dapat menghambat kerja jurnalistik. Mari kita bersama menjaga iklim demokrasi yang sehat dengan menghormati peran pers sebagai pilar keempat demokrasi,” paparnya.

Ketua SMSI yang Ahli Pers Dewan Pers itu mengingatkan melarang wartawan meliput dapat dikenakan sanksi hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sesuai Pasal 18 Ayat (1) UU Pers, tindakan yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenakan pidana pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun. denda maksimal Rp 500 juta.

Tidak hanya itu, menghalangi wartawan juga dapat dianggap melanggar hak kebebasan berekspresi yang diatur dalam Konstitusi dan berbagai instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

“Penting untuk diingat, penyelesaian sengketa pers harus melalui mekanisme yang telah ditetapkan oleh UU Pers, yaitu melalui Dewan Pers, bukan melalui tindakan main hakim sendiri atau melarang secara sepihak. (red/*)