Jejak di Medan Konflik
Karier Taufik mencapai puncaknya ketika ia ditugaskan meliput konflik sosial di Sumbawa pada tahun 2000-an. Kala itu, situasi memanas antara dua kelompok masyarakat akibat isu perebutan lahan tambang. Taufik berada di tengah pusaran itu, melaporkan setiap kejadian dengan netralitas dan keberanian.
“Berita harus menjadi jembatan, bukan api,” katanya kepada rekan-rekannya saat itu. Namun, tugas itu bukan tanpa risiko. Suatu malam, ketika sedang menulis di sebuah penginapan kecil, ia dikepung oleh sekelompok orang yang marah dengan liputannya. Dengan tenang, Taufik berbicara kepada mereka, menjelaskan bahwa ia hanya ingin menyampaikan fakta. Ajaibnya, mereka akhirnya pergi tanpa kekerasan.
Liputan tersebut memenangkan penghargaan nasional untuk jurnalisme investigasi, tapi bagi Taufik, penghargaan sejati adalah saat konflik berakhir dengan damai.
Namun, perjalanan Taufik tidak selalu mulus. Pada tahun 2015, ia terlibat dalam kontroversi ketika berita yang ia tulis tentang dugaan korupsi pejabat tinggi ternyata tidak cukup didukung bukti kuat. Meski ia yakin akan kebenarannya, redaksinya terpaksa meminta maaf kepada publik.
M alam itu, Taufik menatap layar komputernya dengan hampa. Ia merasa gagal sebagai seorang wartawan. Namun, seorang teman lama, yang juga seorang aktivis, berkata kepadanya, “Kau telah melakukan lebih banyak untuk kebenaran daripada kesalahan kecil ini. Jangan berhenti hanya karena satu kegagalan.”
Kata-kata itu membakar semangatnya kembali. Ia pun berjanji untuk lebih berhati-hati dalam menulis berita, tanpa mengurangi ketajaman penanya. (ai/bersambung)
Ilustrasi: bing.com