Di sebuah ruang bernama Persatuan, di mana tinta hitam menjelma kata, dan suara-suara kecil menyatu, tersebarlah kabar.
Kabar tentang keretakan di rumah mereka sendiri—Persatuan Wartawan Indonesia. Rumah yang dulunya megah, kini mendapati dirinya terbagi. Dua sosok, dua arah, dua pengurus.
Pengurus pertama berdiri di timur, mengibarkan panji dengan janji perubahan yang segar, berani menantang aturan lama, dan menggugat segala yang usang. Mereka berbicara tentang suara wartawan yang lebih kuat, dan kepedulian yang lebih nyata pada kebutuhan anggota.
Sementara di barat, pengurus lainnya berdiri teguh dengan landasan kepercayaan pada nilai-nilai lama, membela aturan yang telah bertahan lama, dan berjuang dengan gagasan bahwa perubahan tak selalu harus datang begitu cepat.
Kabar itu menyebar, membuat hati para pewarta gemetar. Mereka bukan hanya saksi, tetapi juga bagian dari tubuh persatuan yang kini bimbang. Di jalan-jalan, di antara gemerincing cangkir kopi yang hampir habis, para wartawan bicara dengan bisik-bisik. Mana yang harus mereka pilih? Mana yang benar-benar menjaga nama baik dan kepentingan mereka?
Di balik kaca, seorang wartawan tua, wajahnya penuh garis yang dibuat waktu, duduk termenung. Ia ingat masa-masa ketika Persatuan adalah satu-satunya pelindung. Ia ingin melihat persatuan itu tetap satu, seperti tinta di atas kertas yang meresap sempurna, tanpa celah. Namun, realitas di depan matanya kini adalah kertas yang koyak, tinta yang terpecah.
Dan di sana, di persimpangan pikiran mereka masing-masing, terselip sebuah harapan. Bahwa suatu saat nanti, mungkin kedua arah ini akan kembali menyatu, mencipta kisah baru tanpa lagi terpecah belah. Sebuah kisah tentang pers yang kembali menjadi rumah, bukan hanya untuk satu kubu atau yang lain, tetapi untuk semua. (ai)
Ilustrasi gambar: bing.com